LiputanTerkini.id, Bandar Lampung– Menjelang akhir tahun 2019, dunia masih berjalan seperti biasa. Lalu lintas padat, kampus kampus, pasar, dan pusat perbelanjaan ramai dengan aktivitas masing-masing, dan ruang-ruang seminar dipenuhi mahasiswa serta dosen yang berdiskusi tentang berbagai ide dan gagasan. Di tengah suasana itu, seorang pria sederhana dari pelosok Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung, sedang menapaki jalan setapak dari perjalanan panjangnya di dunia Jurnalistik.
Perjalanan Pinnur Selalau bukanlah kisah yang mulus. Lahir dan besar di sebuah Pekon/Desa di Lampung Barat, ia tumbuh dalam lingkungan yang sangat sederhana. Orang tuanya hanyalah masyarakat biasa dengan penghasilan pas-pasan. Namun Pinnur Selalau memiliki semangat belajar yang tinggi dibidang Jurnalistik. Ia percaya bahwa belajar adalah jalan keluar dari keterbatasan hidup.
Dengan niat dan tekad serta dukungan keluarga dan tekad baja, ia terus belajar hingga menyandang predikat wartawan/Jurnalis, lalu menjalani profesi di dunia Pers. Tapi kehausannya akan ilmu tak berhenti di situ. Ia terus belajar, dan mimpinya besar: menjadi seorang wartawan yang profesional.
Kalau kita berhenti bermimpi, kita berhenti hidup, ujar Pinnur Selalau kepada seniornya nya suatu ketika.
Kalimat itu bukan sekadar kutipan, melainkan filosofi hidup yang ia pegang teguh. Maka, saat ia memutuskan menjalani profesi sebagai jurnalis, banyak yang terinspirasi—bukan hanya karena perjuangannya, tetapi juga karena pengorbanan yang menyertainya.
Selama menjalani profesi sebagai jurnalis atau wartawan, Pinnur Selalau harus membagi waktunya antara keluarga, dan profesi. Ia tetap berbaur dan belajar dengan para seniornya. Ia terbiasa melakukan perjalanan jauh, menginap seadanya, bahkan menulis opini dan berita di pasar atau di perempatan sambil ngobrol dengan para tukang ojek. Tidak sedikit hari-hari yang ia lalui tanpa istirahat cukup.
Puncak perjuangan itu terjadi pada akhir 2019. Setelah bertahun-tahun melakukan pembelajaran tentang pers dan perjalanan hidup, dan melewati berbagai ujian kehidupan, tibalah suatu hari dengan setelan celana jeans sederhana namun rapi, berdiri dengan percaya diri untuk meliput suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh salah satu instansi pemerintah di Provinsi Lampung.
Tak lama berselang, dunia berubah drastis. Awal 2020, pandemi Covid-19 melanda hampir seluruh penjuru bumi. Kampus-kampus tutup, pembelajaran berpindah ke sistem daring aktivitas di pusat keramaian dibatasi, dan orang tidak bebas berinteraksi satu dengan yang lainnya. Namun Pinnur Selalau bersyukur karena ia telah melewati perjalanan panjang dan belajar tentang Pers, sebelum badai itu datang. Allah beri saya waktu yang tepat ujarnya. “Kalau saya tidak belajar banyak, mungkin saya tak bisa meneruskan profesi sebagai jurnalis.”
Alih-alih beristirahat, pandemi justru membuatnya semakin aktif. Ia terus berkarya, menulis, dan melakukan investigasi dan peliputan di berbagai kegiatan. Julukan wartawan ia jadikan bukan sebagai simbol status, tapi sebagai alat untuk berbagi dan menginspirasi. Ia sadar bahwa pada masa sulit itu, banyak masayarakat kehilangan arah baik karena ekonomi, keterbatasan fasilitas, maupun tekanan mental. Di tengah itu semua, Pinnur Selalau hadir sebagai sosok yang memberi informasi dan semangat serta edukasi.
Kini, bertahun-tahun sejak masa bersejarah itu, nama Pinnur Selalau dikenal luas di berbagai kalangan masyarakat, khususnya di kalangan insan Pers, pemerintahan dan aktivis maupun masyarakat. Ia tetap rendah hati, tetap berkarya dan memposisikan diri sebagai sosial kontrol dengan penuh semangat, dan terus menularkan energi perjuangannya. Ia ingin menjadi cahaya yang menyinari banyak orang cahaya yang menyala sebelum dunia diliputi kegelapan pandemi.
Kisah Pinnur Selalau bukan semata tentang meraih status sebagai jurnalis. Ini adalah kisah tentang ketekunan, dedikasi, dan harapan. Tentang bagaimana sebuah cahaya kecil, yang datang dari pelosok desa, bisa menyinari dunia. Sebuah pengingat bahwa bahkan sebelum gelap datang, masih ada cahaya yang menuntun jalan.
Bandar Lampung : 30 Juni 2025
Editor : Melia Efrianti S.H.